Sabtu, 22 Maret 2014

ADAB HENDAK MASUK WC HINGGA KELUAR WC


Tuntunan Buang Air Menurut Islam
 
Islam diturunkan untuk memuliakan manusia. Semua perilaku dan tindakan manusia dalam Islam diarahkan menuju kepada kemuliaan itu sehingga tampak beda antara dia dengan binatang. Di antara bimbingan Islam untuk memuliakan manusia adalah adab dan aturan dalam buang hajat, buang air besar dan air kecil.
Pada suatu hari kaum musyrikin berkata kepada Salman al Farisi radliyallah 'anhu perihal ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "(Benarkan) Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun perkara adab buang hajat?” Salman menjawab, "Benar (beliau mengajarkan kami adab buang hajat), beliau melarang kami menghadap kiblat ketika berak atau kencing, bercebok dengan tangan kanan . . . ." (HR. Muslim)
Aturan atau adab buang hajat adalah bagian dari syariat Islam yang menjadi bukti syumuliyah-nya. Maksudnya segala persoalan ada petunjuknya di dalam Islam. Karenanya seorang muslim harus memperhatikan dan mempraktekkan ketika membuang hajat agar menjadi muslim yang kaffah dalam melaksanakan ajaran agamanya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS, al Baqarah: 208)
Segala persoalan ada petunjuknya di dalam Islam. . .  Hingga masalah buang hajat
Berikut ini akan kami sebutkan tiga di antara adab dan aturan buang hajat yang paling penting dan kurang mendapat perhatian manusia secara umum.
I.    Berdoa ketika hendak masuk kamar kecil (toilet) dan ketika keluar
Hal pertama yang harus diperhatikan seorang muslim yang hendak masuk ke toilet adalah membaca do'a:
اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syetan laki-laki dan syetan perempuan”
Atau:
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syetan laki-laki dan syetan perempuan”.
Doa pertama didasarkan pada hadits Anas bin Malik radliyallah 'anhu, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila masuk ke kamar kecil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan.” (Muttafaq 'alaih)
Sedangkan doa ke dua di samping hadits Anas di atas juga didasarkan pada hadits Ali bin Abi Thalib radliyallah 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "penghalang pandangan jin terhadap aurat manusia adalah apabila dia masuk ke kamar kecil ia mengucapkan Bismillah." (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syekh al Albani dalam Shahih al Jami' ash Shaghir no. 3611)
Maksud apabila masuk ke kamar kecil dalam kedua riwayat di atas adalah sebelum masuk ke kamar kecil, bukan ketika sudah berada di dalamnya. Hal ini berdasarkan riwayat al Bukhari dalam al Adab al Mufrad dari hadits Anas, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ الْخَلَاءَ
"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila hendak masuk ke kamar kecil . . "
Sementara apabila di tempat yang terbuka yang tidak dikhususkan untuk buang hajat, seperti padang pasir dan hutan, maka doa ini dibaca tatkala hendak ditunaikannya hajat seperti ketika seseorang menyingkap pakaiannya. (Subul as Salam, 1/222).
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan mereka mengatakan kalau seseorang lupa membaca doa ini maka ia membacanya dalam hati. (Fathul Bari, 1/307).
Kenapa harus berdoa dengan doa di atas?
Karena WC dan semisalnya merupakan tempat kotor yang dihuni oleh syetan maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ia tidak ditimpa oleh kejelekan makhluk tersebut. (Asy Syarhul Mumti‘, 1/83)
Doa keluar dari Toilet
Dan ketika keluar dari toilet membaca doa:  غُفْرَانَكَ  (ghufroonaka), artinya: "aku mohon ampunan-Mu, Ya Allah."
Hal ini didasarkan pada hadits Aisyah radliyallah 'anhu,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنْ الْخَلَاءِ قَالَ غُفْرَانَكَ
"Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila sudah keluar dari kamar kecil beliau membaca: Ghufraanaka." (HR. at Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh al Albani dalam al Irwa, no. 52)

II.    Langkah kaki ketika masuk dan keluar toilet
Disunnahkan agar mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke kamar kecil dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar darinya. Dalilnya adalah sunnah yang memerintahkan agar mendahulukan yang kanan untuk hal mulia dan mendahulukan yang kiri untuk hal yang tidak mulia. dan banyak riwayat yang menunjukkan hal itu secara global. (as Sail al Jarraar: 1/64)
Sedangkan hadits riwayat al Bukhari dan Muslim yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau, bersifat umum. Dan menurut Ibnu Daqiq al 'Ied, dikhususkan pada keadaan-keadaan tertentu dimulai dengan yang kiri, seperti apabila beliau masuk toilet, keluar dari masjid dan yang lainnya. (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/44)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Merupakan kaidah yang berkesinambungan dalam syariat sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan bagi bagian kanan seperti memakai pakaian, celana, sandal, masuk masjid, bersiwak, bercelak, menggunting kuku, mencukur kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, salam ketika selesai shalat, mencuci anggota wudhu, keluar dari WC, makan, minum, berjabat tangan, menyentuh hajar aswad dan selainnya yang maknanya dianjurkan untuk memulai dari bagian kanan. Adapun lawan dari perkara di atas seperti masuk WC, keluar dari masjid, istinja, melepas pakaian, celana, sandal dan yang semisalnya, dianjurkan untuk memulai dengan mendahulukan yang kiri. Semua itu dilakukan untuk memuliakan bagian kanan.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160)
Disunnahkan agar mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke kamar kecil dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar darinya.
III.    Larangan menghadap dan membelakangi Kiblat
Seorang muslim yang sedang buang air hendaknya tidak menghadap atau membelakangi kiblat. Hal berdasarkan hadits Abu Ayyub Al Anshari radliyallah 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
"Apabila kalian mendatangi tempat buang air, baik untuk buang ari besar atau kecil,  maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat dan jangan pula membelakanginya, akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat (bagi mereka yang berada di daerah bagian utara atau selatan kiblat).

Abu Ayyub berkata, "kami pernah datang ke Syam dan kami dapati di sana toilet-toilet dibangun menghadap ke arah kiblat, maka kami ubah arahnya dan kami pun beristighfar kepada Allah Ta'ala." (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Abu Ayyub meriwayatkan hadits di atas dengan lafadz umum. Karenanya, larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang air menurut hadits ini adalah bersifat umum, baik di toilet yang tertutup maupun di tempat terbuka. Inilah kesimpulan yang diambil oleh sebagian ulama, sehingga larangan dalam hadits ini bersifat mutlak. (Lihat: Tamamul Minnah oleh al Albani rahimahullah)
Sebagian ulama lainnya berpendapat larangan menghadap kiblat atau membelakanginya berlaku saat buang hajat di tempat terbuka. Ini berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Umar radliyallah 'anhuma yang berkata: "aku pernah naik ke atap rumah saudariku –Hafshah- (untuk keperluan. Secara tidak sengaja) aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang jongkok buang air (di toilet di dalam rumah) dengan menghadap ke arah Syam dan membelakangi kiblat." (HR. al Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama lainnya berpendapat larangan menghadap kiblat atau membelakanginya berlaku saat buang hajat di tempat terbuka. (pendapat yang lebih rajih)
Kesimpulan yang kedua ini berdasarkan kaidah, "apabila Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang sesuatu tetapi beliau sendiri melakukannya maka larangan tersebut tidak menunjukkan haram, melainkan hanya sebatas makruh." Dan hadits yang diriwayatkan Abu Ayyub adalah 'Amm (bentuknya umum) sedangkan hadits Ibnu Umar bentuknya Khass (Khusus), maka yang dipakai adalah riwayat Ibnu Umar berdasarkan kaidah ushul al Fiqh, "dalil khusus harus lebih didahulukan dari dalil umum." Ini adalah pendapat yang lebih rajib (kuat) dan merupakan pendapat Imam Malik, Asy Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Asy Sya‘bi dan ini merupakan pendapat jumhur ahli ilmu. (Syarah Shahih Muslim 3/154, Syarah Sunan An Nasa’i lis Suyuthi 1/26)
Pendapat ini juga dikuatkan dengan hadits Jabir bin Abdillah Al Anshari radliallahu anhu, “Sungguh beliau melarang kami untuk membelakangi dan menghadap kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami apabila kami buang air. Kemudian aku melihat beliau kencing menghadap kiblat setahun sebelum meninggalnya.” (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al Jami`ush Shahih, 1/493)
Akan tetapi yang afdhal bagi seorang muslim adalah tidak menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang air, baik di tempat tertutup maupun di tempat terbuka sebagai sikap berhati-hati dari hadits-hadits yang menunjukkan larangan akan hal ini. Demikianlah karena hadits ibnu Umar, boleh jadi, muncul sebelum adanya larangan menghadap atau membelakangi kiblat saat buang air. Dan bisa juga bolehnya menghadap atau membelakangi kiblat saat buang air hanya khusus bagi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saja, karena beliau melakukannya di tempat tersembunyi dan tidak berusaha memperlihatkan dan memberitahkan kepada orang lain. (Inilah pendapat Syaikh Bin Bazz dalam Syarh-nya terhadap Bulugh al Maram).
. . . yang afdhal bagi seorang muslim adalah tidak menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang air, baik di tempat tertutup maupun di tempat terbuka sebagai sikap berhati-hati . . .